Sejarah
estetika adalah sejarah pemikiran falsafi tentang keindahan dan seni.Sebagian
besar pemikirannya bersifat logis-murni dan spekulatif. Pembahasannya selalu
menunjukkan apa yang semestinya terdapat dalam sebuah karya.
Plato (428-348 SM)
Filsafat keindahan
Sumber
rasa keindahan adalah rasa cinta kasih, karena jika ada rasa cinta maka manusia
selalu ingin kembali menikmati apa yang dicintainya itu. Proses tertanamnya
rasa cinta pada keindahan itu dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Pada
awalnya orang dididik untuk mencintai keindahan nyata yang tunggal, misalnya
keindahan tubuh seorang manusia.
b. Kemudian,
dia dididik untuk mencintai keindahan tubuh yang lain, sehingga tertanam
hakikat keindahan tubuh manusia.
c. Keindahan
tubuh yang bersifat rohaniah itu lebih luhur daripada keindahan tubuh yang
bersifat jasmaniah.
d. Keindahan
rohaniah dapat menuntun manusia mencintai segala yang bersifat rohani pula,
misalnya ilmu pengetahuan.
e. Akhirnya,
manusia harus dapat menangkap ide keindahan itu sendiri tanpa kaitan yang
bersifat jasmani.
Filsafat seni
Benda
seni yang diciptakan para seniman merupakan tiruan benda indah yang merupakan
ilusi dari ide keindahan.Karya seni itu hanya sebuah ilusi, gambar maya.Karya
seni juga dapat merusak akal sehat akibat kandungan emosinya dan akibat dari ide
keindahan.Emosi dalam karya seni dapat membangkitkan “banjir emosi” pada
manusia dan membutakan akal sehatnya.Maka, karya seni dapat “membahayakan”
kehidupan bersama dalam negara.Selain itu, karya seni juba bukan sumber yang
baik untuk pengetahuan pendidikan.
Aristoteles (384-322 SM)
Mimesis
Aristoteels
berpendapat bahwa seni itu suatu imitasi atau tiruam (mimesis).Manusia meniru
dapat memberikan kegembiraan, keindahan.Terkadang seniman sejumlah realitas
untuk membangun sebuah gambaran yang memiliki makna, yang ditiru oleh seniman
(sastrawan) adalah tingah laku manusia.Gambaran tingkah laku manusia itu
mengandung hukum kemungkinan terjadinya pada manusia dan keharusan terjadinya.
Karya seni bersifat universal, karena apa yang digambarkan itu dapat terjadi
kapan saja dan dimana saja bagi manusia. Berbeda dengan plato yang beranggapan
seni hanya ilusi, maka Aristoteles neranggapan bahwa karya seni adalah karya
nyata yang dapat diserap secara sensoris (inderawi).
Sastra
Filsafat
seni Aristoteles bertumpu pada seni sastra, dengan contoh drama dan epos pada
zamannya. Dalam berbagai karya sastra tadi, ia merinci unsur-unsur drama yang
terdiri atas objek imitasi, medium imitasi, karakteristik imitasi. Objek drama
adalah tingkah laku dan kelakuan manusia (drama, perbuatan).Mediumnya berupa
bahasa, irama, dan nada. Karakteristiknya berupa dialog, narasi, deklamasi, dan
acting (pemeran). Dalam drama tragedy, manusia digambarkan lebih baik dari
kenyataan sebenarnya, sementara dalam komedi, manusia digambarkan lebih buruk dari
kenyatan sebenarnya. Tragedi memiliki sejumlah unsur utama berupa: Plot (alur
cerita), karakter, pikiran, bahasa, musik, spektakel.
Aristoteles
mengupas perbedaan sejarah dan sastra. Sejarah menggambarkan apa yang telah
terjadi, sedangkan sastra menggambarkan apa yang mungkin terjadi sehingga
sastra lebih bersifat umum, universal, dan lebih mengandung filsafat dariada
sejarah yang faktual dan partikular.
Ciri
keindahan
Ciri-ciri
lengkap keindahan, baik pada alam mauun pada karya seni, menurut Aristoteles,
adalah :
a. Kesatuan
atau kutuhan yang dapat menggambarkan kesempurnaan bentuk, tak ada yang
berlebihan atau berkurang. Sesuatu yang pas dan khas adanya.
b. Harmoni
atau kesembangan antar unsur yang proposional, sesuai dengan ukurannya yang
khas.
c. Kejernihan,
bahwa segakanya memberikan suatu kesan kejelasan, terang, jernih, murni, tanpa
ada keraguan.
Perngaruh Plato dan aristoteles
Kedua
filsuf Yunani-lama ini amat berpengaruh terhadap para filsuf Yunani di masa
yang lebih kemudian, bahkan sampai masa sekarang.Pokok pikiran mereka mengenai
keindahan dan seni masih sering menjadi, bahan perdebatan dan bahan
penafsiran.Pokok pikiran menegnai kebutuhan dalam seni, harmoni, keteraturan
dalam seni, masih sering dijumpai dalam telaah estetika sepanjang sejarah
budaya Barat. Begitu pula soal imitasi (mimesis), katarsis, unsur tragedi,
masih sering dibicarakan oleh para filsuf dimasa kemudian,
Dari
Yunani, pengaruh filsafat berkembang di zaman Romawi, terutama pada zaman
kekaisaran (sekitar abad pertama). Meskipun secara politik jauh lebih besar dan
jaya dari Yunani, pemikiran mereka tentang seni tidak banyak dan juga tidak
asli.
Horatius (65-8 SM)
Horatius
adalah penyair lirik zaman kekaisaran Romawi. Menurut Horatius, syarat seni
(sastra, puisi) yang baik adalah :
·
DECORUM
: yakni harmoni dalan seni. Gaya dalam seni selalu sesuai dengan pokok yang
dipilih. Begitu pula, setiap ragam puisi memiliki gayanya sendiri. Cara
pengungkapan juga harus sesuai dengan tingkat usia, jenis kelamin, dan kelompok
social yang dituju.
·
NATURA
dan INGENIUM : menyangkut diri prnysir, apakah unsur
bakat (natura) lebih pentig daripada unsur keterampilan atau teknik puisi
(ars). Dalam pandangan Horatius, kedua unsur itu harus seimbang. Seseorang
tidak dapat hanya mengandalkan bakat alam yang dimiliki penyair, tetapi juga
harus belajar teknik menulis puisi.
·
FUNGSI
SASTRA : sastra khusunya pusisi, dapat memberikan rekreasi
atau hiburan dan sekaligus pendididkan bagi pendengar atau pembacanya. Seni
harus memberi kenikmatan dan sekaligus manfaat dalam kehidupan manusia (utile
dulce).
Pendapat
Horatius ini dikenal dengan semboyan dulce at utile (indah dan berguna).Pokok
pikiran ini mendatangkan perdebatan di abad ke-19 dan ke-20, yakni munculnya
semboyan “seni untuk seni” dan “seni untuk masyarakat”.
Plotinus (204-269 M)
Filsafat
seni plotinussering dinamai Neo Platonisme karena meneruskan filsafat seni
Plato. Sumber keindahan adalah ide keindahan yang abadi, seperti pendapat
Plato, hanya saja pada Plotinus ide keindahan itu juga merupaka Maha Sumber
segalanya, Plotinus berpendapat bahwa semuanya ini berasal dari Maha Sumber dan
akan mengalir kembali kepada Maha Sumber tadi (teori emansi = mengalir).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar